Orang kata, wahabi mengatakan Allah memerlukan tempat kerana wahabi menetapkan sifat Allah istiwa’ di atas langit di ‘Arasy-Nya padahal ‘wahabi’ (pinjam kata-kata mereka) hanya menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah dan tidak ada pun pernyataan ‘wahabi’ yang menyatakan Allah memerlukan tempat. Sedangkan Asha’irah mengatakan mereka mengikut aqidah Imam Abul Hasan Asy’ariy iaitu Allah wujud tanpa bertempat? Betulkah demikian? Haatu burhanakum inkuntum shadiqiin (Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar).
Apa yang penting bukan perkataan ulama yang menjadi neraca timbangan kebenaran, akan tetapi perkataan mereka (para ulama) yang bertepatan dengan syariat yang telah Allah turunkan kepada umat ini melalui lisan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat ini yakni para sahabat ridhwanallah ‘alaihim jami’an.
Posting sebelum ini saya membawakan tulisan dari al-Ustadz Abul Jauzaa’ hafizhahullah berjudul -Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah-, dan kali ini saya bawakan tulisan yang sama (yang telah bahagikan kepada 2, untuk bagian pertama saya meletakkan judul “Wahabi Tipu Al-Ibanah Lagi????“) untuk pembahasan Aqidah sebenar Imam Abul Hasan Asy’ari rahimahullah. Semoga artikel ini memberi penjelasan kepada kita akan hakikat kelompok asy’ariyah yang ada di zaman ini, apakah sama pegangan mereka dengan sang imam, atau terbalik 180 darjah dari hakikat yang sebenar.
Ada beberapa tambahan dari saya seperti subtopik dan ubahan pada format tulisannya, saya juga ubah bahasa tulisan ini kepada bahasa melayu malaysia. Antara subtopik yang saya letakkan:
- Pernyataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengenai Sifat ‘Uluw/istiwa’ bagi Allah
- Perkataan Para Muktazilah, Jahmiyah Dan Haruriyah
- Perkataan para ulama yang menukil pegangan Imam Abul Hasan Asy’ariy
Silakan membaca:
Ustadz Abul Jauzaa’ menulis: Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187, Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiy rahimahullah, telah mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pernyataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengenai Sifat ‘Uluw/istiwa’ bagi Allah
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atau Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)
1. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :
جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال: (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.
ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.
“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.
Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]
2. Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقول استوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”.[4]
3. Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :
رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد
“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafaznya karena khuatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4. Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم – إذا دعوا – نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta” (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.
Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
Perkataan Para Muktazilah, Jahmiyah Dan Haruriyah
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.
Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
Perkataan para ulama yang menukil pegangan Imam Abul Hasan Asy’ariy
5. Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu Faurak) berkata :
الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.
“Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :
فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم
“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :
ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.
“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’ ; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6. Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :
ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.
سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا
“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah tertipu dan telah berdusta”.[8]
7. Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnya Tabyiinu Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد….)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9] kecuali dari kalangan orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i’tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidhah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidhah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena dia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون – إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، – إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’ala bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’ (QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’ (QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :
فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.
“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada kalian semua)”.[10]
8. Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
Scan kitab Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-AlUlluw
Scan kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabi oleh Al-Albani rahimahullah pada halaman dimaksud : http://www.scribd.com/doc/16205769/Kitab-Mukhtashar-AlUlluw
Dapat kita lihat dari keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana zhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
Oleh: Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor.
Dicopy dari: abul-jauzaa.blogspot.com
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua, kepada orang-orang yang ikhlas mencari kebenaran dan orang-orang yang cinta kepada sunnah Nabi dan benci kepada bid’ah. Dan semoga Allah memberikan ganjaran yang selayaknya kepada Ustadz Abul Jauzaa’ atas ketekunannya menulis artikel untuk membela sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahul musta’an.
No comments:
Post a Comment