PENJELASAN LEMBAGA ULAMA SENIOR ARAB SAUDI
TENTANG TERCELANYA SIKAP EKSTRIM DI DALAM PENGKAFIRAN
DAN DAMPAK NEGATIFNYA
Oleh :
Al-Allamah al-Imam asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz
Penyusun dan Komentar :
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil Hamid al-Halaby al-Atsary
Kata Pengantar
(Syaikh Ali Hasan al-Halaby)
Segala puji hanyalah milik Alloh pemelihara alam semesta. Sholawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada utusan yang paling mulia, keluarga beliau dan seluruh sahabatnya. Dan tidaklah ada permusuhan melainkan terhadap orang-orang yang zhalim.
Amma Ba’du : Inilah penjelasan ilmiah yang mendalam, yang di dalamnya berisi penelitian dan pembahasan yang cermat, yang menetapkan suatu permasalahan yang paling urgen, yang akan memberikan faidah bagi seluruh umat dan menangkis fitnah yang membutakan.
Saya (Syaikh Ali, red.) memandang harus menyebarkan penjelasan ini dan memandang sangat urgen sekali menyebarkannya, sebagai nasehat dan amanat, dengan dua alasan :
Pertama, Mayoritas manusia tidak mengetahui dan memahami hal ini. Bahkan orang yang tahu pun tidak mau menyebarkannya [1] dan tidak mau menunjukkannya, kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh.
Kedua, Bahwasanya di dalam penjelasan ini, terdapat penyingkapan keadaan sebagian manusia yang ghuluw (ekstrim) dan berlebih-lebihan. Yang mana mereka berbuat kejelekan dikarenakan kebodohannya terhadap agama dan mereka membinasakan mayoritas kaum muslimin dengan penyimpangan-penyimpangan mereka.
Adapun Islam itu -walhamdulillah- adalah tinggi dan mulia. Islam lebih dapat memberikan dan mengarahkan kepada kebenaran. Hanya kepada Allohlah saya meminta agar penjelasan ini [2] dapat memberikan manfaat kepada khayalak umum (umat) dan khusus (ahli ilmi), dan Dia-lah Alloh SWT yang berfirman :
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya” (Al-Anfal : 25)
Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Alloh pemelihara alam semesta.
Penjelasan Hai’ah Kibaril Ulama (Lembaga Ulama Senior) [3]
Segala puji hanyalah milik Alloh, Sholawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga beliau sahabat beliau dan siapa saja yang berpetunjuk dengan petunjuk beliau.
Amma Ba’du : Majelis Ha`iah Kibaril Ulama telah mempelajari di dalam daurohnya yang ke-49 yang bertempat di Tha’if, yang dimulai dari tanggal 2/4/1419 [4], mengenai apa yang telah terjadi di banyak negara-negara Islam dan selainnya, dari aktivitas takfir (pengkafiran) dan tafjir (perusakan) serta apa yang berkembang darinya seperti tertumpahnya darah dan hancurnya gedung-gedung.
Melihat bahayanya perkara ini dan dampak yang ditimbulkannya, seperti lenyapnya nyawa orang-orang yang tidak bersalah, hilangnya harta-harta yang terjaga, ketakutan manusia dan terguncangnya stabilitas keamanan, maka majelis memandang perlunya mengeluarkan penjelasan yang menerangkan hukum dari aktivitas-aktivitas ini, dalam rangka menegakkan nasehat bagi Alloh dan hamba-hamba-Nya, memelihara kehormatan dan mengeliminir kerancuan pemahaman orang-orang yang tersamar atasnya hukum perkara ini.
Maka, kami katakan –dengan (mengharap) taufiq dari Alloh- :
Pertama, Takfir merupakan hukum syar’i yang tempat kembalinya adalah Alloh dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlil (penghalalan), tahrim (pengharaman) dan iijab (pewajiban), kembalinya adalah kepada Alloh dan Rasul-Nya, maka demikian pula dengan takfir.
Tidaklah setiap ucapan dan amalan yang disifatkan dengan kekufuran, maka dengan serta merta menjadikan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama. [5] Oleh karena tempat kembalinya hukum takfir adalah kepada Alloh dan Rasul-Nya, maka tidaklah boleh kita mengkafirkan kecuali dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah akan kekufurannya dengan penunjukkan yang jelas. Tidaklah cukup di dalam menvonis kafir hanya dengan syubhat (kesamar-samaran) dan dugaan semata, yang nantinya akan berkonsekuensi pada hukum-hukum yang riskan.
Apabila hudud saja ditolak karena syubhat, yang mana dampak dari hal ini lebih minim jika dibandingkan dengan dampak dari takfir, maka tentunya takfir lebih utama untuk ditolak karena syubhat. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alahi wa Salam memperingatkan dari menvonis seseorang sebagai kafir yang pada kenyataannya tidak kafir, beliau bersabda :
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya : wahai kafir, maka akan kembali (vonis) ini pada salah satu dari keduanya. Apabila ia memang kafir, maka apa yang dikatakannya benar, namun apabila tidak kafir, maka vonis itu akan kembali kepada dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar).
Terkadang terdapat ayat di dalam al-Qur’an atau Sunnah yang difahami darinya bahwa suatu ucapan atau perbuatan atau keyakinan adalah kufur, namun tidaklah dikafirkan orang yang disifatkan dengannya karena adanya penghalang yang menghalangi dari kekafiran.
Dan hukum ini, sebagaimana hukum-hukum lainnya, tidak bisa sempurna melainkan dengan adanya sebab-sebab dan syarat-syaratnya [6] serta hilangnya penghalang-penghalangnya. Sebagaimana hukum warisan, sebabnya adalah hubungan kekerabatan. Namun terkadang pewarisan itu tidak ada walau memiliki sebab hubungan kekerabatan, dikarenakan adanya penghalang seperti perbedaan agama misalnya. Demikian pula dengan kekufuran, dimana seorang mukmin yang terpaksa tidaklah dikafirkan.
Kadang-kadang, seorang muslim mengucapkan sebuah ucapan kufur dikarenakan terlalu bergembira, marah, atau yang semisalnya. Maka ia tidaklah kafir dikarenakan ketiadaan maksud padanya. Sebagaimana di dalam kisah ada seorang yang berkata :
“Ya Alloh, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu”. Ia keliru karena terlalu bergembira [7] (HR Muslim dari Anas bin Malik).
Gegabah di dalam masalah takfir akan membawa dampak kepada perkara yang krusial, seperti halalnya darah dan harta, terhalangnya pewarisan, batalnya pernikahan dan hukum lainnya yang sama dengan hukum murtad.
Lantas, bagaimana bisa hal ini dibenarkan bagi seorang mukmin untuk berani berbuat ini karena serendah-serendahnya syubhat?!
Apabila perkaranya ditujukan kepada pemerintah [8], maka ini lebih berbahaya lagi. Yang mana dapat menyebabkan mereka semakin sewenang-wenang terhadap umat, terhunusnya pedang, tersebarnya kekacauan, tertumpahnya darah dan rusaknya ummat dan negeri.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam melarang menentang mereka. Beliau bersabda :
“kecuali sampai kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kalian memiliki burhan (keterangan yang nyata) dari Alloh.” (Muttafaq ‘alaih dari ‘Ubadah).
Sabda beliau : “kecuali sampai kalian melihat…”, berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya berdasarkan dugaan dan desas-desus belaka.
Sabda beliau : “kekufuran”, berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya kefasikan walaupun besar, seperti berbuat aniaya, minum khomr, bermain judi dan lebih condong kepada perkara yang haram.
Sabda beliau : “nyata”, berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya berupa kekufuran yang tidak nyata, yaitu yang tidak terang dan tampak.
Sabda beliau : “dan kalian memiliki burhan dari Alloh”, berfaidah bahwasanya haruslah dari dalil yang terang, baik dari segi tsubut (periwayatannya) yang shohih dan penunjukannya yang shorih (terang). Tidaklah cukup dalil yang dha’if sanadnya dan samar penunjukannya.
Sabda beliau : “dari Alloh”, berfaidah bahwasanya tidak ada gunanya ucapan salah seorang ulama walau setinggi apapun kedudukannya di dalam ilmu dan amanah, apabila ucapannya tidak ditopang dengan dalil yang shorih lagi shohih dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alahi Wa Salam.
Dan syarat-syarat ini menunjukkan atas riskannya perkara ini.
Intinya adalah, tergesa-gesa/gegabah di dalam takfir memiliki bahaya yang sangat riskan, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-A’raaf : 33).
Kedua : Apa yang berangkat dari keyakinan yang salah ini, berupa penghalalan darah, pelanggaran kehormatan, perampasan harta baik individu maupun masyarakat, perusakan pemukiman dan sarana transportasi serta penghancuran gedung-gedung bangunan.
Aktivitas-aktivitas ini dan semisalnya, adalah diharamkan secara syariat dengan kensensus kaum muslimin. Karena di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap kehormatan jiwa manusia yang terpelihara, pelanggaran terhadap harta, terguncangnya stabilitas keamanan dan kehidupan ummat yang aman tenteram di dalam rumah-rumah dan kantor-kantor mereka, pada pagi maupun sore hari, serta pelanggaran terhadap kemaslahatan umum yang menyebabkan manusia tidak tenang dengan kehidupannya.
Islam telah menjaga harta, kehormatan dan raga kaum muslimin. Maka haram melanggarnya dan bersikap keras/ekstrim padanya. Dan termasuk apa yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam pada akhir ucapannya kepada umatnya di saat haji wada’ adalah :
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian sebagaimana haramnya hari, bulan dan negeri kalian ini.”
Kemudian Nabi melanjutkan :
”Sungguh, tidakkah telah kusampaikan?! Ya Alloh persaksikanlah!!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abi Bakrah).
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Setiap muslim terhadap muslim lainnya, haram darah, harta dan kehormatannya.” (HR Muslim dari Abi Hurairoh).
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Waspadalah kalian dari kezhaliman, karena sesungguhnya kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat.” (HR Muslim dari Jabir).
Alloh telah menjanjikan sanksi bagi orang yang membunuh jiwa yang terlarang dengan sanksi yang pedih. Alloh SWT berfirman tentang hak seorang muslim :
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An-Nisa’ : 93).
Alloh berfirman tentang hak seorang kafir yang dilindungi (Ahlu Dzimmah) tentang hukum bagi orang yang membunuhnya tanpa sengaja :
“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” (An-Nisa’ : 92).
Apabila orang kafir yang mendapatkan keamanan jika dibunuh secara tidak sengaja saja memiliki diyat (denda) dan kaffarat, lantas bagaimana dengan yang membunuhnya dengan sengaja?! Sesungguhnya kejahatannya semakin dahsyat dan dosanya semakin besar. Telah shohih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bahwasanya beliau bersabda :
“Barangsiapa yang membunuh Mu’ahid (kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin), tidak akan mencium aroma surga.” (Muttafaq ‘alaihi dari Abdillah bin ‘Amr).
Ketiga : Sesungguhnya majelis, ketika menerangkan hukum takfir kepada manusia tanpa didasari burhan dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, dan bahaya mengimplementasikannya secara mutlak, yang membawa dampak buruk dan dosa, maka majelis mengumumkan kepada seluruh dunia : bahwasanya Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini, dan bahwasanya apa yang terjadi di sebagian negeri berupa tertumpahnya darah orang yang tidak bersalah, hancurnya rumah-rumah, kendaraan-kendaraan dan fasilitas umum maupun khusus, serta hancurnya gedung-gedung bangunan, maka ini semua termasuk tindakan kriminalitas dan Islam berlepas diri darinya.
Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Alloh dan hari akhir berlepas diri darinya. Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini merupakan perbuatan dari orang-orang yang memiliki pemikiran menyimpang dan aqidah yang sesat, dan dia menanggung dosa dari kejahatannya sendiri. Maka tidak boleh dianggap aktivitasnya kepada Islam dan tidak pula kepada kaum muslimin yang berpetunjuk dengan petunjuk Islam, yang berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, serta berpegang teguh dengan tali Alloh yang kokoh. Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini murni merupakan tindakan kriminalitas dan kejahatan yang dibenci oleh syariat dan fithrah. Oleh karena itu datang nash-nash syariat yang mengharamkannya dan memperingatkan dari berkumpul dengan pelakunya.
Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS Al-Baqoroh : 204-206)
Wajib atas seluruh kaum muslimin di manapun berada untuk saling berwasiat di dalam kebenaran, saling menasehati dan tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan, beramar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang hikmah dan nasehat yang baik, serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana firman Alloh SWT :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah : 2)
Dan firman-Nya Subhanahu :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah : 71).
Firman-Nya Azza wa Jalla :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-Ashr)
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Agama itu nasehat (3x)”,
seorang sahabat bertanya : “kepada siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab :
“Kepada Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakatnya.” (HR Muslim dari Tamim ad-Dari, dan Bukhari memu’allaqkannya tanpa menyebutkan sahabat.)
Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Perumpaan kaum muslimin dalam kasih sayang, cinta dan lemah lembut bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya mengeluh maka akan memanggil seluruh tubuhnya hingga turut terjaga dan merasakan demam.” (Muttafaq ‘alaihi dari an-Nu’man bin Basyir).
Ayat-ayat dan hadits yang semakna dengan hal ini banyak sekali.
Kami memohon kepada Alloh SWT dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar menghilangkan bencana bagi seluruh kaum muslimin dan agar memberikan taufiq kepada seluruh penguasa kaum muslimin terhadap kebaikan ummat dan negeri, memangkas kerusakan para perusak dan menolong agama-Nya dengan eksistensi mereka, serta meninggikan kalimat-Nya dan memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya di manapun mereka berada. Semoga Alloh menolong mereka di dalam kebenaran. Sesungguhnya Alloh adalah pelindung dan Is mampu untuk melaksanakannya. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, keluarga beliau dan sahabat beliau.
(Sumber : Bayaanu Ha`iati Kibaaril Ulama’ fi Dzammil Ghuluwwi wat Takfiiri wa maa yansya`u ‘anhu min atsarin khathirin, oleh Markaz Imam Albani, Yordania)
Catatan Kaki :
[1] Karena perkaranya menurut kebanyakan dari mereka adalah dapat dipilah-pilah. Apabila selaras dengan hawa nafsunya maka disebarkan dan apabila menyelisihi hawa nafsunya maka disembunyikan dan dihilangkan!! Maka sesungguhnya fatwa para ulama inimenyelisihi hawa nafsu mereka, yang mana para ulama dengan fatwa ini -menurut mereka- adalah bodoh terhadap fiqhul waqi’ (realita zaman) dan rancu dengan irja’. maka demi Alloh, sesungguhnya hal ini adalah musibah besar dan bencana yang dahsyat.
[2] Penjelasan ini termasuk penjelasan dan fatwa ilmiah terakhir dari Samahatis Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu kurang dari 9 bulan sebelum beliau wafat, yang disebarkan oleh Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no. 56, bulan Shofar 1420, langsung pasca wafatnya syaikh.
[3] Saya telah memberi komentar (ta’liq) dan keterangan (syarah) pada penjelasan ini dengan menyandarkan kepada Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah fi Dzammi Murji’ah wal Irja’ (Fatwa Komite Tetap tentang Tercelanya Kelompok Murji’ah dan Faham Irja’) di dalam sebuah risalah kecil yang sedang dicetak, yang kuberi judul dengan Kalimatun Sawa`un fin Nushroti wats Tsana`i ‘ala Bayani Ha`iah Kibaril Ulama’ wa Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah lil Ifta’ fi Naqdli Ghuluwi Takfir wa Dzammi Dholalatil Irja’ (Kalimat yang Sepadan di Dalam Menyokong dan Menyanjung Penjelasan Lembaga Ulama Senior dan Fatwa Lembaga Tetap Untuk Fatwa Yang Mengkritik Sikap Ghuluw di Dalam Takfir dan Mencela Kesesatan Irja’) –yang sedang dicetak, alhamdulillah-. (Buku ini telah terbit, pent.)
[4] Adalah wafatnya Samahatu Ustadzuna asy-Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pada tanggal 27/1/1420 H.
[5] Sesungguhnya kufur itu ada dua macam : Kufur asghar yang tidak mengeluarkan dari agama dan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama. Kufur akbar itu bermacam-macam, seperti istihlal (penghalalan), imtina’, juhud (pengingkaran), takdzib (pendustaan), nifaq, dan syak (ragu-ragu) dan ia memiliki sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada kekufuran, yaitu ucapan, perbuatan dan keyakinan.
[6] Pada ucapan Syaikhul Islam rahimahullahu dalam Majmu’ al-Fatawa (14/118), terdapat penjelasan tentang syarat-syarat ini. Beliau berkata tentang hokum orang yang berbicara dengan ucapan kufur :“Dan apabila ia : (1) mengetahui apa yang diucapkannya, dan dirinya (2) memiliki pilihan serta (3) bermaksud dengan apa yang ia ucapkan, maka yang demikian ini ucapannya dianggap kufur”.Saya (Syaikh Ali Hasan, pent.) katakan : kebalikan/lawan dari syarat-syarat di atas merupakan penghalang-penghalang kekafiran.
[7] Terlalu gembira merupakan sebab adanya penghalang yang menghalangi pengkafiran terhadap dirinya, yaitu karena ketidaksengajaan (ketiadaan maksud). Ketiadaan maksud untuk melaksanakan tidaklah mengkafirkan. Maka perhatikanlah!!! Kecuali orang yang bermaksud sedangkan dia tidak dalam keadaan terpaksa, maka dianggap sebagai kekufuran, baik itu ucapan maupun amalan yang dapat menghilangkan keimanan dari segala sisi, seperti mencela Alloh atau Rasul-Nya SAW, atau yang semisal dengannya. Hal ini termasuk kekafiran yang mengeluarkan dari agama alias murtad.
[8] Yaitu : dari kalangan penguasa kaum muslimin, semoga Alloh memperbaiki negeri dan umatnya dengan eksistensi mereka. Bukanlah termasuk pendapat yang kuat mengenai dalil yang sering digunakan oleh para penyeleweng yang berdalil dengannya untuk mengkafirkan seluruh penguasa muslim, yaitu firman Alloh : “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh maka termasuk orang-orang yang kafir.”Sungguh indah ucapan Imam Ahmad rahimahullahu : “Kufur itu ada yang tidak mengeluarkan dari agama. Sebagaimana keimanan yang ba’dhuhu duna ba’dhin (sebagiannya bukanah bagian lainnya). Demikian pula dengan kufur (ada yang kufrun duna kufrin / kekufuran yang tidak mengkafirkan, pent.), sampai datangnya perkara yang tidak diperselisihkan padanya.” (Majmu’ al-Fatawa Syaikhul Islam VII/254).